NAGAQQ.COM | AGEN BANDARQ | BANDARQ ONLINE | ADUQ ONLINE | DOMINOQQ TERBAIK

Sabtu, 30 Januari 2016

Pembantu Ku Yang Semok Part 5




Hari ke-2 setelah kepergian anak dan istriku untuk berlibur di rumah mbak Yuni. Terus terang aku kangen mereka. Aku bahkan tidak diberi kesempatan bicara agak lamaan oleh anakku pada saat aku telepon, dia masih larut dalam euphoria liburan di kak Priya, kakak ponakan favoritnya. Priya ini anak mbak Yuni gede, satu tahun lebih tua dari anakku, dan keduanya share interest yang sama: Pesawat. Ya udah, papanya udah gak kepakai dalam tahap ini. Aku hanya tersenyum sendiri waktu nyetir pulang, membayangkan betapa cerita anakku pasti akan sangat heboh kalau dia sudah kembali nanti. Di depan gerbang, aku kaget ada seorang yang mendeprok di depan gerbangku.

“Mbak Yun?” sapaku kaget setelah turun dari mobil dan melihat wajahnya.

Mbak Yuni inilah istri kakak ponakanku, mas Andri, yang aku ceritakan menggugat cerai dia karena mas Andri sekarang dibutakan oleh pihak ke tiga. Ada perempuan lain di bahtera rumah tangga mereka.

“Dik…” sapanya lirih. “Aku kemarin sudah sms sama dik Ine kalau mau datang ke sini, dan dik Ine bilang gak pa-pa…” lanjutnya.

“Naik apa, mbak? Kok tidak nelpon? Kan aku bisa jemput.” tanyaku lebih lanjut.

“Nggak pa-pa, dik, takut ngerepotin.” jawabnya cepat.

“Gak pa-pa, mbak. Gak usah sungkan gitu ah, mbak, kaya dengan siapa aja, aku kan adikmu.” jawabku.

“Mungkin sebentar lagi bukan,” desisnya lirih sambil berpaling. Dikiranya aku tidak mendengar.

Setelah memasukkan mobil ke garasi, aku mempersilahkan mbak Yuni untuk masuk rumah dan segera membuatkannya minuman dingin. Mbak Yuni ini sebenarnya seumuranku, orangnya kecil mungil dangan kulit putih. Pakaiannya selalu rapi, dia mengenakan jilbab, dan menurutku, mas Andri beruntung mendapatkan istri secantik dia. Sebenernya dia anak orang kaya, hanya papanya mengalami kebangkrutan tidak berapa lama setelah dia menikah dengan mas Andri. Karena tidak tahan sama tekanan, papanya meninggal sakit jantung dan mamanya menyusul tidak lama setelah itu. Kasihan juga, sekarang hanya tinggal dia dan kakak kandung dia yang bertempat tinggal di Batam.

“Tadi mbak naik apa? Kok mbak tidak nelpon, kan saya bisa jemput mbak, atau gimana…” aku mengulangi pertanyaanku yang tadi belum dia jawab dengan penuh.

“Aku naik bis, dik. Aku sudah sms sama dik Ine, dan dia bilang gak pa-pa aku sementara numpang di Semarang. Di kampung aku sudah tidak kuat, dik, melihat mas Andri…” jawabnya. “Dan maaf kalau tadi tidak nelepon kamu, sebenernya mau nelepon, hanya… pulsaku habis.” lanjutnya lirih.

“Oo, gak pa-pa, mbak. Hanya seperti aku bilang tadi, kalau mbak nelepon kan aku bisa jemput di terminal, atau sedikit persiapan… eh, anak-anak ikut eyangnya berlibur ke rumah mbak Yuni gede ya, mbak?” kataku lagi mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau dia selalu teringat kampung, sementara dia mencoba ‘lari’ untuk menenangkan pikiran. Well, kelihatannya aku selalu tahu.

“Iya, anak-anak ikut.” jawabnya pendek.

Aku memandangnya dengan sangat iba, bener-bener kakak ponakanku, si Andri itu memang gila. Aku juga bukan laki-laki baik-baik, tetapi… menelantarkan anak istri jelas tidak ada di dalam kamusku. Kami bertemu pandang, aku sadari betul mata mbak Yuni tampak sangat capek dan sayu. Padahal wajahnya manis, mungkin lebih manis dari istriku. Sebenarnya mbak Yuni ini pintar berdandan dan merawat diri, dulu pas pertama kali bertemu (waktu aku melamar Ine) dia nampak segar dan energik, sekarang benar-benar terbalik 180 derajat, terlihat capek dan layu. Aku sadar bebannya pastinya sangat berat.

“Eh, mbak Yun mandi dulu aja ya, tak siapin makanan. Aku tadi cuman beli seporsi sih, tapi cukup kok kita makan berdua. Nanti aku masak sedikit, atau mau makan di luar?” kataku lagi berusaha seriang mungkin.

“Sudah, apa adanya aja, dik, tidak usah repot-repot.” jawabnya.

“OK, mbak Yun mandi, aku masak, trus kita makan dulu sebelum mbak Yun istirahat, kelihatannya capek banget kakakku yang paling cantik ini.” kataku menggoda.

“Hmm,” dia hanya tersenyum simpul.

“Nah, gitu dunk, senyum dikit, kan tambah manis… jangan lesu terus geto, ntar cepet tua lho. Santai aja, mbak, ntar juga semua ada jalannya. Nah, sekarang mandi aja dulu. Tak ambilin handuk sekarang, nyonya?” godaku lebih lanjut. “Eh, btw, kok gak bawa tas? Maksudku, baju ganti dll?” tanyaku lagi.

Dia malah tertawa terbahak-bahak, aku sampai kaget, udah stress berat kali mbakku yang satu ini. Ke arah gila mungkin? Serem juga! “Iya, tadi lupa cerita…” katanya. “Kelihatannya tasku ketinggalan di terminal, tadi dari rumah aku bawa koper, tapi dasar pikun, pas mau naik bis jurusan ini, cuman tas kecil yang aku bawa…” lanjutnya.

Eh? Aku bengong… tapi pernyataannya tadi benar-benar menegaskan pikirannya yang kacau dan tidak fokus. “Eeh, y-yang bener, mbaK?” tanyaku masih kurang percaya.

“Sumprit suwer kewer-kewer.” jawabnya mencoba bercanda. “…dan kenapa aku gak nelpun kamu, dik… karena sampai di bis, aku juga kecopetan, hp dan dompetku ilang.” lanjutnya sambil menunjukkan tas kecil dia yang robek, seperti bekas di silet.

Eh? Aku tambah bengong, sambil garuk-garuk kepala ala Wiro Sableng. “Hahahahaha…” tawaku keras-keras. “Wedew, dengan begini, aku nobatkan mbak Yun sebagai orang ter-sial of the day deh. Ntar piagam dan piala menyusul. Wedew… kacaw!” candaku lebih lanjut.

Kami berdua tertawa, mungkin dengan pemikiran yang berbeda di otak kami, jujur aku tidak melihat apa yang membuat dia tertawa, karena yang nampak di mataku hanyalah wajah kosong dan mata sayu yang kehilangan minat akan hidup. Benar-benar kasihan.

Aku bilang gak usah dipikirkan, ntar kalo cuman HP gampang, tak cariin lagi, trus masalah surat-surat yang di dompet ntar kita urus, tapi katanya cuma dompet uang yang hilang, semua surat-surat ada di tas.

“Nah, apa kubilang? Kalau rejeki gak akan ke mana…” kataku mencoba bercanda lagi. “Trus abis mandi, mbak Yun mau make baju apa? Jangan telanjang lho, karena di rumah ini cuman ada kita berdua. Aku takut kagak nahan.” lanjutku menggoda dia.

“Yee… ya minjem baju Ine to, kalau boleh.” jawabnya masih sambil senyam-senyum.

“Boleh lah, apa sih yang gak boleh buat mbak yu kita yang paling maniizzz ini?” jawabku masih becanda. Dia kembali tersenyum sambil tersipu-sipu

Aku masih mengaduk-aduk telur orak-arik saat mbak Yun keluar dari kamar mandi yang ada di kamarku dengan dibalut daster tidur cream milik istriku dari sutra tipis tak berlengan yang sedikit kebesaran dengan ‘V’ neck rendah dan panjangnya hanya sepanjang atas lutut (harusnya ukuran baju itu sepaha, tapi karena mbak Yun bertubuh kecil dan pendek, jadinya agak kedodoran di bawah).

Rambutnya basah karena habis keramas. Aku sedikit tercengang, kalau tidak berjilbab, kakak iparku ini ternyata manis beneran. Pandanganku turun ke dada kecil dia, lalu ke pinggulnya. Kaos tidur ini terbuat dari bahan sutra yang tipis (ya kan buat tidur, jadi biar adem), bisa kulihat tonjolan putingnya yang mencuat mungil di atas dadanya yang juga mungil dan di pinggulnya tidak ada siluet karet CD, dengan begitu aku berasumsi, mbak Yun tidak memakai sepotong baju dalam pun di balik kaos tidur istriku yang dia kenakan saat itu.

Aku menelan ludah. Di dalam otak kepala atasku bilang: Jangan! Jangan! JANGAN! Inget! Eling! Nyadar! Tapi di dalam otak kontolku: Hmmm, aku gak tahu apa yang ada di sana?! Si ****** langsung berdiri. Tegak! 100%! SIAP GRAK!!

“Duduk, mbak, nih sudah siap.” kataku.

Dia langsung duduk dan makan dengan lahap, kukira dia betul-betul lapar. Aku hanya menatapnya sambil tersenyum, aku lega dia sudah tidak canggung dan sungkan denganku lagi karena memang aku sebelumnya tidak begitu dekat dengannya.

Habis makan dia langsung berdiri. “Biar aku yang nyuuci piringnya, dik.” katanya, mungkin khawatir aku masih sungkan dan mencuci piring bekas makan kami itu sendiri.

“Waduh, mbak, gak usah… gak usah sungkan maksudnya. Heheh... Silahkan, tolong di cuciin, sekalian wajan bekas gorang telur tadi ya, dan please jangan lupa juga piring bekas sarapan tadi pagi, hehehehe…” jawabku cengegesan.

“Dasar…!” katanya sambil tertawa dan membawa semua piring ke tempat cuci piring lalu mulai membilasnya.



“Yap, giliranku mandi.” kataku sambil melompat dari kursi.


Bersambung...
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Total Pengunjung Hari ini

SAHABAT303

Diberdayakan oleh Blogger.

SAHABATPOKER

SAHABATKARTU

Favorite View